Matahari musim panas Mesir begitu terik menyengat kulit. Aku, Fahri bin Abdullah, mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi S2 di Universitas Al-Azhar, duduk termenung di kamar kosku yang sempit di distrik Madinat Nasr. Buku-buku teks berbahasa Arab berserakan di meja kecilku, sementara kipas angin tua yang sudah berderit-derit berusaha meredam panasnya udara Kairo yang terkenal menyengat.
Telepon umum di depan rumah kos berdering. Pemilik kos, Ummu Ahmad, berteriak memanggilku. "Fahri! Ada telepon untukmu dari Indonesia!" Hatiku berdebar. Sudah tiga bulan aku tidak mendengar kabar dari keluarga di Wonogiri.