Cover Ayat-Ayat Cinta

AYAT-AYAT CINTA

Sebuah Novel Pembangun Jiwa
by Habiburrahman El Shirazy

Prolog: Kairo, 1999

Matahari musim panas Mesir begitu terik menyengat kulit. Aku, Fahri bin Abdullah, mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi S2 di Universitas Al-Azhar, duduk termenung di kamar kosku yang sempit di distrik Madinat Nasr. Buku-buku teks berbahasa Arab berserakan di meja kecilku, sementara kipas angin tua yang sudah berderit-derit berusaha meredam panasnya udara Kairo yang terkenal menyengat.

Telepon umum di depan rumah kos berdering. Pemilik kos, Ummu Ahmad, berteriak memanggilku. "Fahri! Ada telepon untukmu dari Indonesia!" Hatiku berdebar. Sudah tiga bulan aku tidak mendengar kabar dari keluarga di Wonogiri.

"Cinta sejati adalah yang mampu bertahan dalam ujian, tumbuh dalam kesabaran, dan bersemi dalam keridhaan Ilahi."

1. Pertemuan dengan Maria

Perpustakaan Universitas Kairo selalu menjadi tempat favoritku untuk menghabiskan waktu di sela-sela kuliah. Suatu hari di bulan Oktober, ketika aku sedang asyik membaca kitab tafsir Al-Qur'an karya Ibnu Katsir, tiba-tiba seorang gadis dengan jilbab putih duduk di hadapanku.

"Maaf, apakah kursi ini kosong?" tanyanya dengan logat Mesir yang kental.

Aku mengangguk sambil tersenyum. "Silakan."

Gadis itu memperkenalkan diri, "Aku Maria Girgis. Kamu mahasiswa Al-Azhar ya? Dari Indonesia?"

Aku terkejut. "Kamu tahu aku dari Indonesia?"

"Wajah Asia-nya khas," jawabnya sambil tertawa. "Dan aku sering melihatmu membaca kitab-kitab tebal di sini."

Maria ternyata mahasiswi Sastra Inggris Universitas Kairo yang juga suka membaca. Pertemuan sederhana itu menjadi awal dari persahabatan kami yang penuh warna.

2. Aisyah dari Istanbul

Telepon dari Indonesia itu ternyata dari ibuku. "Fahri, kami telah menemukan calon istri untukmu. Namanya Aisyah, anak dari teman ayahmu dulu di Pesantren. Sekarang mereka tinggal di Istanbul."

Hatiku bergejolak. Aku belum pernah bertemu Aisyah, tapi tradisi keluarganya mengharuskanku menerima lamaran ini. Aisyah dikabarkan sangat shalehah, hafal Al-Qur'an, dan sedang menempuh studi di Universitas Istanbul.

Sementara itu, hubungan persahabatanku dengan Maria semakin erat. Tanpa kusadari, hatiku mulai terbagi. Maria adalah seorang Kristen Koptik yang sangat menghormati agamaku, sementara Aisyah adalah muslimah shalehah yang dijanjikan untukku.

"Dalam cinta ada keimanan, dalam keimanan ada cinta. Keduanya tak bisa dipisahkan seperti sungai yang mengalir menuju samudera."

3. Ujian dan Cobaan

Kehidupanku di Kairo semakin kompleks ketika Noura, tetangga Mesirku, mengungkapkan perasaannya. Aku terkejut karena selama ini aku menganggapnya hanya sebagai adik.

Masalah semakin rumit ketika suatu hari aku dan Maria dituduh melakukan perbuatan tidak senonoh oleh sekelompok pemuda. Kami dibawa ke kantor polisi. Maria menangis ketakutan, sementara aku berusaha menjelaskan bahwa kami hanya teman yang sedang berdiskusi tentang agama.

Di tengah situasi sulit ini, Aisyah tiba-tiba datang dari Istanbul. "Aku datang untuk mendukungmu, Fahri," katanya dengan lembut. Aku terpana melihat ketegaran wanita yang belum resmi menjadi istriku ini.

4. Cinta yang Menyelamatkan

Kasus kami akhirnya diselesaikan secara kekeluargaan berkat bantuan Syekh Umar, dosen pembimbingku di Al-Azhar. Namun cobaan terbesar datang ketika Maria sakit keras. Dokter mengatakan ia membutuhkan transfusi darah segera.

Aku adalah satu-satunya yang memiliki golongan darah yang cocok. Tapi beberapa teman Muslimku melarang, "Darahmu akan menjadi najis, Fahri!"

Aisyah memandangku tegas. "Selamatkan nyawanya, Fahri. Dalam Islam, menyelamatkan nyawa manusia lebih utama."

Setelah transfusi darah, kondisi Maria membaik. Suatu hari, dengan air mata berlinang, ia berkata, "Fahri, aku ingin memeluk Islam."

"Kadang Allah menguji kita dengan kehilangan, bukan untuk menyakiti, tapi untuk mengajarkan arti syukur. Kadang Dia memberi cobaan, bukan karena murka, tapi karena ingin melihat seberapa kuat iman kita."
Kembali ke Profil